Sebentar
lagi saya lulus SMA. Tersisa beberapa bulan lagi untuk mengenakan seragam
berwarna putih abu-abu. Kegiatan rutin yang bisa dilakukan hanya berkutat
dengan buku dan pensil. Kadang rasanya ingin sekali pergi jauh. Ke antah
berantah. Tempat yang dapat membuat saya berpikir lebih jernih, selain hafalan
soshum atau rumus matematika di sekolah. Namun apadaya, semua tiada guna. Pergi
menjauh tidak akan menghentikan waktu, apalagi menyelesaikan masalah. Apa yang
ada di depan mata memang harus dihadapi.
Keinginan
untuk melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi Negeri, membuat saya harus
memikirkan segala persiapan matang beserta resikonya. Belajar mati-matian
setiap hari membuat saya kehilangan waktu bersama orang-orang tersayang.
Meninggalkan bapak dan ibu untuk sekolah kemudian kursus sampai malam merupakan
hal yang berat untuk dilakukan. Rumah hanya menjadi tempat untuk tidur.
Keesokan harinya, saya akan mengulangi kegiatan yang sama.
Belum lagi
ditambah dengan tanggung jawab sebagai badan pengurus harian ekskul. Menyelesaikan
laporan pertanggungjawaban kemudian bicara di tengah sebuah sidang. Pekerjaan
yang dinantikan akhirnya sudah selesai. Acara yang saya dan teman-teman
rencanakan, sangat besar. Sangat rumit. Sehingga setiap hari selalu saja ada
pekerjaan yang harus dilakukan. Di satu sisi saya sangat ingin menyelesaikan
semua ini, namun di sisi lain saya juga tidak ingin cepat-cepat pergi.
Saya masih
belum berani membayangkan sebuah perpisahan. Mungkin sebenarnya ini bukan
perpisahan. Hanya terpisah beberapa waktu saja. Mungkin hanya empat tahun
lamanya. Namun siapa yang tahu, di dalam empat tahun itu akan terjadi apa?
Memangnya manusia bisa apa kalau Tuhan telah menulis garis takdirnya? Waktu dapat merubah banyak hal. Atau
mungkin bukan perpisahan, hanya mengulangi segalanya dari awal : beradaptasi,
berkenalan, berteman, berkegiatan?
Semoga saja
tiga tahun di SMA ini cukup untuk mengikat hubungan dengan para sahabat,
sekolah, dan yang lainnya. Semoga saja dua tahun sudah cukup untuk mengenalmu,
membawamu pada kehidupan saya yang gerbangnya sudah terlihat ini. Semoga kamu
tidak sekedar menjadi memori, tapi kamu memang selalu ada di setiap hembus
nafas ini. Tidak perlu dengan raga, karena sebentar lagi akan terpisah oleh
jarak.
Apalah arti
sebuah jarak? Waktu? Biarlah kita duduk di rumah masing-masing, menanti
jawabannya. Kata orang mempertahankan itu lebih sulit daripada mendapatkan.
Setelah mendengar kalimat itu, saya tertawa. Saya tidak merajut ikatan. Saya
pernah berharap untuk dapat memiliki, tapi sekarang sudah tidak. Saya merasa
tidak perlu untuk mendapatkan. Saya sedang merajut rasa. Tidak dapat dilihat,
apalagi disentuh. Hanya dapat dirasakan.
Kita sudah
berhenti untuk bicara. Saya bahkan sudah berhenti untuk berusaha. Tik.tok.tik.tok.
Waktu sangat cepat berlalu. Sebentar lagi saya akan pergi. Tapi tenang saja, saya pergi bukan untuk meninggalkanmu.
Inikah salah
satu alasan kamu ingin saya pergi? Saya berharap jawabannya : ya. Saya tau kamu
takut melakukan semuanya sendiri. Pergilah.. sejauh apapun itu, pergilah jika
itu inginmu, yang terbaik untukmu, dan dapat membuatmu lebih tenang. Selama
apapun kamu pergi, pergilah. Toh saya masih tetap disini menunggu kamu.
Jadi, ketika
kamu sudah kembali. Mari kita nikmati waktu yang tersisa sedikit lagi. Bersama.
Dalam keadaan tertawa ataupun menangis. Berdua, kita berlari sejauh mungkin. Soal
nanti saya kemana, atau kamu kemana, urusan nanti. Kemanapun itu, kita akan
kembali kesini. Berdua.