Hmmm. Kata yang umum untuk para mahasiswa, khususnya perantau.
Tugas menumpuk, masalah cinta yang tidak ada ujungnya, masalah persahabatan
yang mulai luntur, dan masih banyak lagi. Ketika kamu pulang, tapi bukan ke
rumah. Ketika kamu pulang lalu sadar bahwa kamu sendirian. Tak ada ibu yang
menanyakan bagaimana harimu hari ini.
Tak ada lagi tempat untuk bercerita atau sekedar bercanda
gurau.
Kemudian.. kemudian alkohol mulai menjadi temanmu untuk
mencurahkan segala emosi. Sudah berapa batang rokok yang kamu habiskan malam
ini? Semata-mata karena tidak bisa tidur.
Keesokan harinya kamu tidak bisa bangun untuk kuliah. Kamu
lelah. Kamu belum cukup tidur. Kuliah mulai terbengkalai. Nilai mulai turun.
Semakin tidak ada harapan untukmu bahagia.
Kemudian.. kemudian kamu cari kebahagiaan di berbagai tempat.
Kamu pikir sedikit berdansa di klub malam tidak apa-apa. Bertemu pria atau
wanita baru yang bisa kamu “nikmati” sesaat.
Namun pada siang hari.. kamu tidak tahu harus berbuat apalagi.
Dan kamu pikir menggores tanganmu dengan pisau bisa membantu. Kamu
menunjukkannya dengan jelas,
“lebih baik sakit fisik daripada sakit mental.”
Temanmu mulai khawatir. Khawatir dengan keadaanmu, serta
khawatir dia menjadi teman yang buruk karena tidak bisa menjagamu. Temanmu
mulai bertanya,
“Apakah ketika itu kamu tidak memikirkan orangtuamu?
Memikirkan sahabat-sahabatmu? Memikirkan cintamu? Memikirkan TUHAN-mu?”
Semua kalimat itu hanya masuk telinga kiri - keluar telinga
kanan. Sampai akhirnya temanmu menyerah untuk mempedulikanmu.
Kamu saja tidak peduli dengan diri sendiri, untuk apa dia
peduli dengan kamu?
Temanmu pun memiliki sebuah rahasia…..
Dia. Sama. Depresinya. Dengan. Kamu.