Manusia dan agama. Spesialisasi
yang menurut saya paling menarik untuk dibahas dalam antropologi. Pasti kalian
semua pernah ngomongin agama sama temen-temen kalian, terus tidak pernah ketemu
ujungnya? Agama adalah salah satu dari 7 unsur kebudayaan universal. Hal yang
paling sulit untuk dirubah karena sudah terdoktrin semenjak kecil. Iya, agama
adalah doktrin. Agama adalah hal yang sangat subjektif, dimana hampir semua
orang berpatokan pada agamanya sendiri ketika membicarakan kata “agama” itu
sendiri.
Ketertarikan saya
bermula ketika saya pergi penelitian ke Sumba. Disana saya menemukan unsur-unsur
religi yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Orang-orang Sumba membagi kasta
mereka seperti masyarakat Bali Aga (Bali asli). di Bali, seperti yang sudah
banyak orang ketahui, ada sistem kasta dan nama. Kasta itu sendiri terbagi
menjadi 4, yaitu :
1. Brahmana
/ pendeta. Nama untuk kasta ini biasanya diawali dengan “Ida Bagus” untuk
laki-laki dan “Ida Ayu” untuk perempuan.
2. Ksatria
/ bangsawan. Nama untuk kasta ini diawali dengan “Anak Agung”.
3. Waisya
/ prajurit. Nama untuk kasta ini diawali dengan “Gusti Bagus” untuk laki-laki
dan “Gusti Ayu” untuk perempuan.
4. Sudra
/ petani. Nama ini tidak memiliki gelar, hanya dinamai menurut urutan lahir. Wayan
(anak pertama) ; Made (anak kedua) ; Nyoman / Komang (anak ketiga) ; dan Ketut
(anak keempat).
Jadi kalau kalian
memiliki teman orang Bali, kalian sudah tau mereka termasuk ke dalam kasta yang
mana. Zaman dulu masyarakat Bali tidak boleh menikah dengan kasta yang berbeda.
Bahkan menurut cerita teman saya, kita tidak boleh menyentuh kepala dan pundak masyarakat
yang bergelar “Ida Bagus’ atau “Ida Ayu”. Namun seiring perkembangan zaman, peraturan
tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Di Sumba, kasta pun dibagi menjadi 4, yaitu :
3. Kabihu
/ masyarakat biasa.
Saya mendapat
pengalaman yang luar biasa ketika dapat menghadiri pemakaman kaum Maramba pada
bulan Oktober 2015 silam. Saat saya menginjakkan kaki di Tanah Sumba, saya
terpesona oleh keindahan alamnya. Yang sekalipun kata orang kering kerontang. Menurut
saya itu adalah salah satu hal terindah ciptaan Yang Maha Kuasa. Di perjalanan
saya dari Bandara Waingapu sampai ke Desa Nggongi, saya hanya melihat sedikit
peradaban. Yang saya lihat disana kebanyakan hewan-hewan ternak seperti sapi,
kuda, dan kambing. Mereka semua berkeliaran di padang rumput nan kering. Hingga
langit semakin sore kemudian matahari mulai hilang, saya mulai merasakan
keadaan yang mencekam. Hanya ada kendaraan kami di tengah savanna gelap gulita.
Tanpa listrik, tanpa lampu, tanpa sinyal. Pada saat itu tim kami hanya dapat
tidur atau sekedar berdiam diri di truk. Sesekali kami melewati desa. Dimana desa-desa
tersebut hanya memiliki beberapa lampu. Entah apa yang mereka lakukan di malam
hari seperti itu.
Ketika sampai di Desa
Nggongi, saya disuguhkan sirih-pinang. Sebelum itu saya sudah di brief oleh dosen saya bahwa sangat tidak
sopan ketika seseorang menolak sirih-pinang di Sumba. Akhirnya saya mengunyah
sirih-pinang (sejujurnya saya ingin muntah saat itu). Akhirnya kami bisa beristirahat
disebuah pondok.
(Karena di post ini saya membicarakan religi, maka
saya akan mempersingkat cerita)
Pada hari-hari
berikutnya, saya menjalani prosesi pemakaman Raja Karera. Di Sumba sendiri, ada
6 kerajaan yang terbagi menjadi 3 kerajaan di Sumba Barat, dan 3 kerajaan di
Sumba Timur. Raja Karera adalah salah satu raja terbesar dari Sumba Timur. Mayoritas
agama di Sumba adalah Kristen Katholik. Uniknya, mereka memiliki prosesi
berbeda dengan agama Katholik pada umumnya.
Jenazah di posisikan
duduk memeluk kakinya, seperti bayi yang ada di dalam kandungan seorang ibu. Kemudian
ada orang-orang yang di khususkan mengangkut jenazah raja ke “Rumah Masa Depan”
yang berjarak sekitar 3km dari tempat persemayaman. Makam raja berbentuk batu
yang sudah dipahat dengan esensi-esensi menarik. Sebelum dikubur, sang jenazah
dikelilingi oleh 8 kuda. Setelah raja dikubur barulah prosesi pemotongan hewan
dimulai. Pemotongan hewan ini dilakukan dengan cukup sadis, menurut saya. Karena
hewan-hewan tersebut dibacok begitu saja ketika sedang berdiri. Ada kuda,
kerbau-kerbau langka berusia puluhan tahun, dan babi-babi raksasa. Bahkan babi
yang ukurannya hampir sebesar mobil itu langsung dibakar hidup-hidup. Dapat kalian
bayangkan saya harus melihat semua itu, dan saya harus mendengar suara teriakan
babi yang menyeramkan.
Setelah saya pulang
dari Sumba, saya membeli buku “Antropologi Agama”. Dan saya baru belajar
teorinya. Berhubung saya satu-satunya mahasiswa baru yang ikut penelitian itu.
Jadi waktu penelitian kurang bahan hehe.
Ada metode penelitian
makroskopik dan mikroskopik. Makroskopik memantau dari jauh, sedangkan
mikroskopik memantau dari dekat. Ketika kita melihat sesuatu dari jauh, hanya
itu yang dapat kita pelajari. Sedangkan ketika kita melihat sesuatu dari dekat
secara detail. Dapat kita lihat bahwa sebenarnya ada konflik yang terjadi di
dalam prosesi tadi.
Agama dan kepercayaan
merupakan sesuatu yang berbeda. Agama, seperti yang kita ketahui, ada Islam,
Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sedangkan kepercayaan hampir
tidak dapat dihitung jumlahnya. Kepercayaan yang tercatat di Indonesia ada
sekitar 295. Dan apa yang saya ceritakan di atas adalah kepercayaan yang
bernama Marapu. Marapu sangat percaya dan menghargai roh nenek moyang. Itu lah
yang sebenarnya dipercaya oleh orang-orang Sumba. Bisa jadi KTP mereka
bertuliskan agama Katholik, namun sebenarnya keyakinan mereka hanyalah Marapu
saja. Konflik yang terjadi di Sumba ialah pemerintah yang tidak mengakui
kehadiran Marapu. Orang-orang yang ingin sekolah, ingin bekerja di suatu
lembaga, ingin bekerja di pemerintahan, tidak dapat diterima apabila beragama
Marapu. Masyarakat pun mulai berpaling dari Marapu. Mencoba hidup maju seiring
berjalannya waktu serta tekanan globalisasi. Lalu apa yang terjadi? Kebudayaan
khas Sumba perlahan ikut luntur. Karena budaya yang mereka jalani hampir
semuanya berasal dari Marapu.
Dosen saya yang bernama
Pak Purwadi. Menjadi orang yang berjasa di Sumba saat beliau masih muda dahulu.
Ia telah melakukan penelitian untuk skripsi, tesis, sampai disertasinya di
Sumba. Beliau ini yang memperjuangkan Marapu sampai akhirnya di akui oleh
pemerintah. Karena jasanya itu, beliau diangkat sebagai anak angkatnya raja. Sempat
tidak mau pulang, mau tinggal disana saja selamanya. Tetapi beliau memutuskan
untuk menciptakan semangat kepada anak-anak muda di Indonesia agar bisa seperti
beliau. Menjadi orang yang berguna, tentunya dengan banyak berkorban demi
kepentingan oranglain yang lebih membutuhkan.
Pak Pur pernah
bercerita tentang suatu desa di Sulawesi (saya lupa persisnya dimana). Di desa
tersebut, rajanya harus memakai mahkota yang terbuat dari bulu burung
cendrawasih. Burung Cendrawasih kan hewan langka yang dilindungi? Betul. Ada banyak
komunitas pemburu Burung Cendrawasih yang mementingkan diri mereka sendiri
alias mencari keuntungan pribadi belaka. Lalu tiba-tiba pemerintah mengecam
desa tadi dengan alasan merusak ekosistem. Padahal hanya butuh satu Burung
Cendrawasih untuk membuat mahkota raja tersebut, yang tidak akan dilakukan
berulang kali. Rasanya tidak adil bila desa tersebut dihukum sedangkan
pemburu-pemburu tidak bertanggung jawab malah didiamkan begitu saja. Begitulah polemik
mengenai manusia, kepercayaan, dan kebudayaannya.
Yang saya pikirkan saat
ini bukan tiba-tiba pergi ke pedalaman untuk membantu mereka. Belum, saya belum
mampu. Saya ingin belajar mengenai agama saya sendiri, sebelum saya mempelajari
agama oranglain. Saya yakin setiap agama memiliki keindahannya masing-masing. Kalau
ada yang salah dari agama, itu pasti akibat perbuatan manusia. Karena sesungguhnya
agama diciptakan untuk menjaga perdamaian. Damai dengan Tuhan, damai dengan manusia,
damai dengan alam semesta.
Untuk orang-orang yang
salah kaprah terhadap Islam yang katanya tidak toleran. Soal Islam tidak boleh
mengucapkan “selamat natal” atau “gong xi fa cai” dan lain sebagainya. Saya rasa
itu adalah urusan individu muslim itu sendiri. Kalau sudah tau tidak boleh ya
cukup dijalani sendiri, tidak perlu diumbar-umbar sampai menyakiti hati pemilik
agama lainnya. Kalau sudah menyakiti, tandanya tidak menghargai.
Bagi saya yang
terpenting adalah iman kepada Allah. Iman berarti percaya. Hubungan antara
dengan seorang individu dengan Tuhannya adalah urusan masing-masing. Islam
agama yang toleran kok.
“untukmu agamamu, dan
untukku agamaku” Al-Kafirun : 6