Sunday, January 3, 2016

My Point of View : Antropologi Religi


Manusia dan agama. Spesialisasi yang menurut saya paling menarik untuk dibahas dalam antropologi. Pasti kalian semua pernah ngomongin agama sama temen-temen kalian, terus tidak pernah ketemu ujungnya? Agama adalah salah satu dari 7 unsur kebudayaan universal. Hal yang paling sulit untuk dirubah karena sudah terdoktrin semenjak kecil. Iya, agama adalah doktrin. Agama adalah hal yang sangat subjektif, dimana hampir semua orang berpatokan pada agamanya sendiri ketika membicarakan kata “agama” itu sendiri.

Ketertarikan saya bermula ketika saya pergi penelitian ke Sumba. Disana saya menemukan unsur-unsur religi yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Orang-orang Sumba membagi kasta mereka seperti masyarakat Bali Aga (Bali asli). di Bali, seperti yang sudah banyak orang ketahui, ada sistem kasta dan nama. Kasta itu sendiri terbagi menjadi 4, yaitu :

1. Brahmana / pendeta. Nama untuk kasta ini biasanya diawali dengan “Ida Bagus” untuk laki-laki dan “Ida Ayu” untuk perempuan.
2. Ksatria / bangsawan. Nama untuk kasta ini diawali dengan “Anak Agung”.
3. Waisya / prajurit. Nama untuk kasta ini diawali dengan “Gusti Bagus” untuk laki-laki dan “Gusti Ayu” untuk perempuan.
4. Sudra / petani. Nama ini tidak memiliki gelar, hanya dinamai menurut urutan lahir. Wayan (anak pertama) ; Made (anak kedua) ; Nyoman / Komang (anak ketiga) ; dan Ketut (anak keempat).

Jadi kalau kalian memiliki teman orang Bali, kalian sudah tau mereka termasuk ke dalam kasta yang mana. Zaman dulu masyarakat Bali tidak boleh menikah dengan kasta yang berbeda. Bahkan menurut cerita teman saya, kita tidak boleh menyentuh kepala dan pundak masyarakat yang bergelar “Ida Bagus’ atau “Ida Ayu”. Namun seiring perkembangan zaman, peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi.

Di Sumba, kasta pun dibagi menjadi 4, yaitu :

1. Pendeta.
2. Maramba / bangsawan.
3. Kabihu / masyarakat biasa.
4. Ata / budak.

Saya mendapat pengalaman yang luar biasa ketika dapat menghadiri pemakaman kaum Maramba pada bulan Oktober 2015 silam. Saat saya menginjakkan kaki di Tanah Sumba, saya terpesona oleh keindahan alamnya. Yang sekalipun kata orang kering kerontang. Menurut saya itu adalah salah satu hal terindah ciptaan Yang Maha Kuasa. Di perjalanan saya dari Bandara Waingapu sampai ke Desa Nggongi, saya hanya melihat sedikit peradaban. Yang saya lihat disana kebanyakan hewan-hewan ternak seperti sapi, kuda, dan kambing. Mereka semua berkeliaran di padang rumput nan kering. Hingga langit semakin sore kemudian matahari mulai hilang, saya mulai merasakan keadaan yang mencekam. Hanya ada kendaraan kami di tengah savanna gelap gulita. Tanpa listrik, tanpa lampu, tanpa sinyal. Pada saat itu tim kami hanya dapat tidur atau sekedar berdiam diri di truk. Sesekali kami melewati desa. Dimana desa-desa tersebut hanya memiliki beberapa lampu. Entah apa yang mereka lakukan di malam hari seperti itu.

Ketika sampai di Desa Nggongi, saya disuguhkan sirih-pinang. Sebelum itu saya sudah di brief oleh dosen saya bahwa sangat tidak sopan ketika seseorang menolak sirih-pinang di Sumba. Akhirnya saya mengunyah sirih-pinang (sejujurnya saya ingin muntah saat itu). Akhirnya kami bisa beristirahat disebuah pondok.

(Karena di post ini saya membicarakan religi, maka saya akan mempersingkat cerita)

Pada hari-hari berikutnya, saya menjalani prosesi pemakaman Raja Karera. Di Sumba sendiri, ada 6 kerajaan yang terbagi menjadi 3 kerajaan di Sumba Barat, dan 3 kerajaan di Sumba Timur. Raja Karera adalah salah satu raja terbesar dari Sumba Timur. Mayoritas agama di Sumba adalah Kristen Katholik. Uniknya, mereka memiliki prosesi berbeda dengan agama Katholik pada umumnya.

Jenazah di posisikan duduk memeluk kakinya, seperti bayi yang ada di dalam kandungan seorang ibu. Kemudian ada orang-orang yang di khususkan mengangkut jenazah raja ke “Rumah Masa Depan” yang berjarak sekitar 3km dari tempat persemayaman. Makam raja berbentuk batu yang sudah dipahat dengan esensi-esensi menarik. Sebelum dikubur, sang jenazah dikelilingi oleh 8 kuda. Setelah raja dikubur barulah prosesi pemotongan hewan dimulai. Pemotongan hewan ini dilakukan dengan cukup sadis, menurut saya. Karena hewan-hewan tersebut dibacok begitu saja ketika sedang berdiri. Ada kuda, kerbau-kerbau langka berusia puluhan tahun, dan babi-babi raksasa. Bahkan babi yang ukurannya hampir sebesar mobil itu langsung dibakar hidup-hidup. Dapat kalian bayangkan saya harus melihat semua itu, dan saya harus mendengar suara teriakan babi yang menyeramkan.

Setelah saya pulang dari Sumba, saya membeli buku “Antropologi Agama”. Dan saya baru belajar teorinya. Berhubung saya satu-satunya mahasiswa baru yang ikut penelitian itu. Jadi waktu penelitian kurang bahan hehe.

Ada metode penelitian makroskopik dan mikroskopik. Makroskopik memantau dari jauh, sedangkan mikroskopik memantau dari dekat. Ketika kita melihat sesuatu dari jauh, hanya itu yang dapat kita pelajari. Sedangkan ketika kita melihat sesuatu dari dekat secara detail. Dapat kita lihat bahwa sebenarnya ada konflik yang terjadi di dalam prosesi tadi.

Agama dan kepercayaan merupakan sesuatu yang berbeda. Agama, seperti yang kita ketahui, ada Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sedangkan kepercayaan hampir tidak dapat dihitung jumlahnya. Kepercayaan yang tercatat di Indonesia ada sekitar 295. Dan apa yang saya ceritakan di atas adalah kepercayaan yang bernama Marapu. Marapu sangat percaya dan menghargai roh nenek moyang. Itu lah yang sebenarnya dipercaya oleh orang-orang Sumba. Bisa jadi KTP mereka bertuliskan agama Katholik, namun sebenarnya keyakinan mereka hanyalah Marapu saja. Konflik yang terjadi di Sumba ialah pemerintah yang tidak mengakui kehadiran Marapu. Orang-orang yang ingin sekolah, ingin bekerja di suatu lembaga, ingin bekerja di pemerintahan, tidak dapat diterima apabila beragama Marapu. Masyarakat pun mulai berpaling dari Marapu. Mencoba hidup maju seiring berjalannya waktu serta tekanan globalisasi. Lalu apa yang terjadi? Kebudayaan khas Sumba perlahan ikut luntur. Karena budaya yang mereka jalani hampir semuanya berasal dari Marapu.

Dosen saya yang bernama Pak Purwadi. Menjadi orang yang berjasa di Sumba saat beliau masih muda dahulu. Ia telah melakukan penelitian untuk skripsi, tesis, sampai disertasinya di Sumba. Beliau ini yang memperjuangkan Marapu sampai akhirnya di akui oleh pemerintah. Karena jasanya itu, beliau diangkat sebagai anak angkatnya raja. Sempat tidak mau pulang, mau tinggal disana saja selamanya. Tetapi beliau memutuskan untuk menciptakan semangat kepada anak-anak muda di Indonesia agar bisa seperti beliau. Menjadi orang yang berguna, tentunya dengan banyak berkorban demi kepentingan oranglain yang lebih membutuhkan.

Pak Pur pernah bercerita tentang suatu desa di Sulawesi (saya lupa persisnya dimana). Di desa tersebut, rajanya harus memakai mahkota yang terbuat dari bulu burung cendrawasih. Burung Cendrawasih kan hewan langka yang dilindungi? Betul. Ada banyak komunitas pemburu Burung Cendrawasih yang mementingkan diri mereka sendiri alias mencari keuntungan pribadi belaka. Lalu tiba-tiba pemerintah mengecam desa tadi dengan alasan merusak ekosistem. Padahal hanya butuh satu Burung Cendrawasih untuk membuat mahkota raja tersebut, yang tidak akan dilakukan berulang kali. Rasanya tidak adil bila desa tersebut dihukum sedangkan pemburu-pemburu tidak bertanggung jawab malah didiamkan begitu saja. Begitulah polemik mengenai manusia, kepercayaan, dan kebudayaannya.

Yang saya pikirkan saat ini bukan tiba-tiba pergi ke pedalaman untuk membantu mereka. Belum, saya belum mampu. Saya ingin belajar mengenai agama saya sendiri, sebelum saya mempelajari agama oranglain. Saya yakin setiap agama memiliki keindahannya masing-masing. Kalau ada yang salah dari agama, itu pasti akibat perbuatan manusia. Karena sesungguhnya agama diciptakan untuk menjaga perdamaian. Damai dengan Tuhan, damai dengan manusia, damai dengan alam semesta.

Untuk orang-orang yang salah kaprah terhadap Islam yang katanya tidak toleran. Soal Islam tidak boleh mengucapkan “selamat natal” atau “gong xi fa cai” dan lain sebagainya. Saya rasa itu adalah urusan individu muslim itu sendiri. Kalau sudah tau tidak boleh ya cukup dijalani sendiri, tidak perlu diumbar-umbar sampai menyakiti hati pemilik agama lainnya. Kalau sudah menyakiti, tandanya tidak menghargai.

Bagi saya yang terpenting adalah iman kepada Allah. Iman berarti percaya. Hubungan antara dengan seorang individu dengan Tuhannya adalah urusan masing-masing. Islam agama yang toleran kok.



“untukmu agamamu, dan untukku agamaku” Al-Kafirun : 6